Minggu, 15 Mei 2016

Pierre Tendean: Kasih Tak Sampai dan Janji Yang Tak Sempat Lunas


Lettu Pierre Andreas Tendean yang menjadi salah satu pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S merupakan korban yang paling muda. Usianya baru 26 tahun saat nyawanya direnggut di Lubang Buaya oleh gerombolan penculik. Kisah perwira muda pemberani yang menjadi ajudan Jenderal Abdoel Haris Nasution (Menko Hankam/KASAB), ini amat mengharukan dan memilukan.

Dalam peristiwa ini, Nasution yang menjadi target teratas para penculik luput dari maut karena berhasil menyelamatkan diri. Namun ia kehilangan nyawa ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean dan putrinya bungsunya yang masih berusia 5 tahun, Ade Irma Suryani..

Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan hari ulang tahun ibunda Pierre, Cornet M.E yang keturunan Perancis. Dan menurut rencana, pada pagi hari 1 Oktober 1965 itu, ia berencana mudik ke Semarang untuk merayakan ulang tahun ibunya bersama Ade karena ia sudah berjanji mengajak Ade jalan-jalan ke Semarang.

Pierre dan Ade memang sangat akrab. Walau baru beberapa bulan menjadi ajudan, Pierre sudah dianggap seperti anggota keluarga oleh Jenderal Nasution sekeluarga.

Saat kediaman Jenderal Nasution di Jalan Teuku Umar No. 40 Jakarta Pusat didatangi gerombolan Tjakrabirawa, Pierre menjadi orang pertama yang menghadapi dan mengaku sebagai Jenderal Nasution. Sebelum dibawa ke Lubang Buaya, ia sempat lebih dulu diikat di pohon besar

depan rumah oleh gerombolan pimpinan Lettu Doel Arief.

Para penculik menembak membabi buta di dalam rumah setelah mereka merasa melihat sosok Jenderal Nasution di dalam kamar. Ia sangat tak percaya situasi ini menimpa keluarga mereka karena pelakunya adalah Tjakrabirawa. Ia menahan pintu kamar yang dihujani tembakan gencar dengan tubuhnya agar gerombolan tersebut tidak memasuki kamar. Ajaibnya, peluru tersebut tidak ada satupun yang mengenai dirinya, namun sialnya peluru tersebut malahan mengenai Ade yang terbangun karena mendengar suara ribut.

Johanna sempat sedikit bertanya soal kedatangan mereka. Tapi salah satu dari gerombolan bak melihat sosok Nasution di balik pintu. Mereka pun sontak melontarkan tembakan. Nasution berusaha menghindar dengan menjatuhkan diri ke lantai. Bak mukjizat, peluru-peluru itu pun luput dari tubuh istri Nasution.

Jenderal Nasution meloloskan diri dengan memanjat tembok ke halaman Kedutaan Besar Irak. Ia sempat gamang dan hendak turun karena melihat Ade yang bersimbah darah dalam gendongan istrinya. "Mereka datang untuk membunuh kamu! Pergilah, biar saya yang menghadapi mereka! Selamatkan diri! Denk niet aan ons (jangan pikirkan kami)!,” seru Johanna pada suaminya.

Beberapa anggota gerombolan membentak Johana, “Mana Nasution?” bentak seorang dari mereka. “Jenderal Nasution di Bandung! Sudah dua hari! Kalian kemari hanya untuk membunuh anak saya saja!,” jawab Johanna dengan kesal.

Bersamaan dengan itu, terdengar isyarat bunyi peluit yang dibunyikan oleh salah satu anggota gerombolan di halaman rumah, karena mereka merasa sudah mendapati Lettu Tendean yang mereka kira sebagai Nasution.

Setelah kejadian ini, Johanna membawa putrinya ke RSPAD bersama keponakan Nasution, Saidi. Dalam perjalanan, Johanna juga sempat melaporkan kejadian itu ke Markas KKO (kini Marinir TNI AL) dekat RSPAD.

Sementara Jenderal Nasution yang kakinya cedera karena melompat dari tembok saat menyelamatkan diri, masih berlindung di balik drum air di dalam Kedutaan Besar Irak. Situasi sekitar rumah Nasution sungguh genting tak lama setelah kejadian karena banyak tentara yang mondar-mandir. Ia tidak mempercayai mereka karena bisa saja mereka anggota gerombolan yang masih mencarinya setelah gagal menemukan dirinya. Ia sendiri baru keluar diam-diam sekitar pukul 7.00 pagi dengan tiarap di lantai mobil dan bersembunyi di sebuah rumah yang alamatnya tidak pernah dipublikasikan di Tanah Abang. Sementara seluruh keluarganya mengungsi ke rumah kerabat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Hedrianti Sahara (Yanti), putri sulung Jenderal Nasution, menceritakan bahwa saat gerombolan menembak di rumah mereka ia dan Alfiah, pembantu rumah tangga, langsung menuju ke paviliun sebelah tempat Pierre tinggal. "Kalian berdua bersembunyi disini saja", ujar Pierre yang lantas mengambil senapannya dan keluar pintu. Namun, naas, saat ia keluar pintu, beberapa anggota gerombolan langsung menangkapnya. Saat itu usianya baru 13 tahun.


Pierre Tendean merupakan idola para wanita saat itu. Setiap Jenderal Nasution menghadiri sebuah acara atau sedang berpidato, bukannya sang Jenderal yang menjadi pusat perhatian, malahan PIerre yang menjadi pusat perhatian karena sosoknya tegap dan tampan karena masih memiliki darah Perancis yang kental.

Kedua orangtuanya mengharapkan Pierre menjadi dokter, namun Pierre malahan lebih suka memilih masuk kemiliteran. Saat menjalani pendidikan sebagai tentara, ia selalu mendapatkan nilai tertinggi. Ia pun dikenal jago berbagai cabang olahraga dan menjadi andalan teman-temannya kala menjalani pendidikan militer di Bandung apabila bertanding bola basket, bola voli dan sepakbola.

Tidak banyak yang tahu, saat Presiden Soekarno mencanangkan "Ganyang Malaysia", Pierre pernah melakukan kegiatan intelijen dengan menyusup ke Malaysia dan Singapura lewat Kalimantan. Saat sedang beraksi ia nyaris saja tertangkap oleh tentara Inggris. Ia bersembunyi di bawah perahu boat dan berhasil meloloskan diri dengan menyamar sebagai turis. Hal ini tidak heran karena selain perawakannya seperti orang bule, kulitnya putih. Ditambah lagi ia mempunyai kemampuan berbahasa Inggris dan Perancis yang fasih

Ada kisah cinta yang tak sampai dalam tragedi ini. Pierre yang berpacaran jarak jauh (istilah remaja sekarang: LDR/Long Distance Relationship) dengan seorang gadis asal Deli, Sumatra Utara, bernama Rukmini dan menurut rencana akan melangsungkan pernikahan pada bulan November 1965 ternyata tak pernah sempat mewujudkan rencananya karena maut keburu menjemputnya.

Yanti menceritakan bahwa ia dan Ade kerap menggoda Pierre apabila Pierre mendapat kiriman surat dari Medan. Pierre kerap senyum-senyum sendiri di kamarnya kala membaca surat cinta dari kekasihnya tersebut. Saban datangnya surat dari pulau berbeda tersebut selalu dimanfaatkan Yanti dan Ade untuk "memalak" Om Pierre (sapaan mereka untuk Pierre) supaya diberikan cokelat atau permen. Pierre mau tak mau, tentunya dengan ikhlas (karena ia amat sayang kepada kedua anak Jenderalnya tersebut) harus meluluskan permintaan mereka agar ia tak digoda dan diganggu saat membaca dan menulis balasan surat cinta tersebut.

Keluarga Bapak A.L. Tendean sempat kebingungan mengapa Pierre belum juga sampai Semarang keesokan harinya. Mereka baru mendapat kabar mengenai tewasnya Pierre pada 4 Oktober 1965.

Sedangkan Rukmini pada saat peringatan tragedi tersebut di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1966 dipeluk erat oleh Presiden Soekarno.

Sebuah kisah yang mengharukan. Pierre mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan sang Jenderal beserta keluarganya yang menyebabkan dirinya tak pernah sempat menuaikan janjinya mengajak Ade, yang ikut wafat, dan menikahi pujaan hatinya.

Sempat tersiar kabar akan dibuat film berjudul "Pierre" untuk mengenang kisah hidup pahlawan tampan ini. Namun rencana ini ditolak keluarga Pierre karena semasa hidupnya Pierre merupakan orang yang dikenal pemalu, dan pendiam serta tidak suka menjadi pusat perhatian


Foto  Pierre 10 hari sebelum G30S

Pierre dan Ade, foto ini diambil 10 hari sebelum peristiwa G30S


Lettu Pierre A. Tendean (kiri), dan Rukmini, gadis pujaannya. Kisah cinta LDR mereka harus dipisahkan oleh maut



































Tidak ada komentar:

Posting Komentar